Rabu, 08 November 2017

Kopi, Lukisan, Kenangan



lihat..
tepat setelah lampu-lampu di padamkan
kau menyala sebagai satu-satunya yang aku rindukan

disini,
di tempat yang paling kamu hindari
aku pernah berdiri
menggores kata menulis warna
pada ratapan panjang yang menguat dalam dinding kecemasan
aku mengisahkan kenangan di kepasrahan yang begitu lapang

retak berserakan ..
tanpa kediaman
terkoyak sepi
melayang di antara pekat aroma kopi

dengar,
tepat setelah jejak-jejak di langkahkan
kau menyapa sebagai satu-satunya yang ku nantikan
disini, di peluk yang pernah kau nikmati
aku masih sendiri
mencari kehilangan, menemui perpisahan

pada letupan kenang yang memuat kekosongan
aku membicarakann senyummu di keindahan yang telah hilang
hancur berkeping, tersapu kesunyian, terinjak lara
terlarut dalam pahit di seduh air mata

tunggu..
santailah sejenak
karna tepat setelah meja-meja di tinggalkan
kedai ini menyesak sebagai satu-satunya keterangan

satu kisah yang pernah kita upayakan
beribu rencana yang pernah kita perjuangkan, lenyap
kau memutuskan berpindah hati
sebelum satu persatu rencana berhasil di wujudkan

menggores kesadaran
menyayat perasaan

pada setiap kata yang memuat pertanyaan
aku mencari kau yang aku rindukan
aku menyapa kau yang aku nantikan

aku mencari
aku menyapa
aku menanti
aku merindu
aku terisak
aku menunggu hadirmu

dan kini,
satu-satunya yang tersisa hanyalah
goresan yang aku buat sebahagai prasasti kesendirian
kapanpun sunyi merasuk jiwamu, kemarilah
pesan kopi terpahit dengan kenangan termanismu
genggam kesedihanmu sebagi duka paling bahagia

dan bila hatimu butuh di dengarkan
temui aku dalam perbincangan
niscaya kopi yang kau pesan tak akan sepahit kehilangan

Selasa, 06 Juni 2017

cerita natha

Saya Aulia Pranata, orang-orang biasa memanggil dengan sebutan Li ataupun natha. Ini adalah cerita bagaimana saya berada diantara orang “asing” dalam kehidupan saya. Saya seorang muslim yang lahir dari rahim seorang ibu yang masa kecilnya seorang kristen. Ibu saya memilih masuk islam ketika menikah dengan ayah saya. Oh iya ayah saya berasal dari aceh, kota yang sangat kental dengan islam. Keluarga kami tinggal disebuah desa kecil yang berada di dataran tinggi karo tepatnya di desa Pertibi Lama. Desa dimana ibu saya berasal.

Di desa itu jugalah saya lahir dan dibesarkan. Desa itulah sebagai saksi saya mengenal dunia dan cinta. Dari bayi hingga tamat SMA saya tinggal disana sebelum akhirnya saya memutuskan tinggal di kota Medan sekaligus melanjutkan pendidikan saya. Tapi rasa cinta terhadap kampung itu tidak pernah hilang dari hati saya. Desa itu tidak begitu luas tapi keharmonisan sangat terjaga disana. 

Kami adalah salah satu keluarga “asing” yang tinggal disana. Kenapa saya sebut asing, karena mayoritas penduduknya adalah penduduk asli dengan suku batak. Sementara kami keturunan aceh yang menumpang untuk tinggal disana. Selain berbeda suku, agama juga berbeda, kami minoritas yang sangat sedikit disana. Jumlah keluarga muslim bisa dihitung dengan jari. Tapi itu tidak membuat kami merasa asing atau terkucil. saya tetap bisa bergaul dengan mereka yang mayoritas. 

Dari saya kecil hingga besar tidak ada satupun ejekan atau persekusi yang saya terima dengan keasingan yang ada pada diri saya. Kami sekeluarga sangat tenang tinggal disana. Bagaimana kami sangat dihargai dan di hormati disana, seperti itu jugalah kami. Kami sopan dengan mereka.